media online pemberitaan kabupaten ngawi
Diberdayakan oleh Blogger.
Custom Search

Sabtu, 14 Maret 2015

Home > > Komplikasi Pupuk Bersubsidi Dan Solusinya

Komplikasi Pupuk Bersubsidi Dan Solusinya

Berita dan foto terkini sinar ngawi adalah Harga pupuk bersubsidi

SN™ Kebijakan subsidi pupuk dibuat pada masa Prof.Dr.Ir.Bungaran Saragih,M.Ec menjadi Menteri Pertanian. Pasca krisis ekonomi & moneter yang berdampak pada krisis pangan menyebabkan Indonesia harus impor beras hingga 5 juta ton pada tahun 2000. Kebijakan ini diambil sebagai langkah agar petani bergairah dalam berproduksi dan swasembada tercapai.

Pada saat itu besaran subsidi pada kisaran Rp 2 Triliun. Sampai dengan tahun anggaran 2015 ini subsidi pupuk masih diterapkan, bahkan alokasi anggaranya mencapai Rp 35,7 triliun.

Menjadi Kebijakan Politis yang dilematis
Pemerintah sepertinya semakin berat untuk mencabut subsidi pupuk, karena akan menjadi sangat tidak populis. Keributan pasti akan terjadi, banyak pihak dengan mengatasnamakan rakyat kecil atau petani akan memanfaatkan situasi. Disatu sisi kebijakan subsidi dapat menjadi menguntungkan bagi pemegang kekuasaan tetapi disisi lain dapat mengakibatkan ketergantungan petani dan pihak-pihak yang diuntungkan dengan adanya kebijakan ini.

Ada yang diuntungkan dan dirugikan
Subsidi pupuk diberikan khusus untuk sub sektor Tanaman pangan, Hortikultura, Perkebunan Rakyat, Peternakan, dan Perikanan budidaya sedangkan yang tidak disubsidi adalah kebutuhan pupuk untuk industri, perkebunan besar dan tanaman non pangan/kehutanan. Disparitas harga antara yang disubsidi dengan yang tidak tentu dapat menimbulkan penyelewengan dan kelangkaan pupuk yang memicu mahalnya harga. Dalam situasi tersebut kebijakan subsidi jelas menguntungkan bagi pedagang dan sub sektor non subsidi, tetapi tidak menguntungkan bagi petani dan tanaman pangan yang dibudidayakannya.

Subsidi pupuk diberikan pemerintah tidak langsung kepada petani, tetapi diberikan kepada Produsen (Pabrik Pupuk) yang juga adalah BUMN. Subsidi digunakan untuk membayar beban biaya produksi sehingga ketika sampai ke petani tercapailah Harga Eceran Tertinggi (HET). Dalam prakteknya harga yang ditetapkan pemerintah sangat sulit tercapai karena ada kebijakan lain yang memberi celah untuk tidak tercapainya HET. Peraturan Menteri Pertanian menetapkan bahwa HET itu berlaku di Lini IV (Kios Resmi) dibayar tunai dan diambil sendiri.

Pada dasarnya HET pupuk tidak tercapai karena dua hal. Pertama, alokasi pupuk bersubsidi kurang atau berkurang, sehingga pupuk langka dan mahal. Kedua, ada kebijakan pembelian pupuk melalui kelompok tani dengan mekanisme Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), maka yang terjadi ketika pupuk di Lini IV (kios resmi) diantar ke titik kelompok tani, memerlukan biaya transportasi, tenaga, dan biaya administrasi serta fee untuk pengurus kelompok tani.

Situasi yang demikian tersebut jelas menyebabkan petani tidak untung kerena pada saat dibutuhkan pupuk selalu sulit didapatkan dan kalau dapat pupuk harganya tidak sesuai HET. Meskipun demikian pada dasarnya yang dipersoalkan petani bukan harga pupuk tidak sesuai HET, tetapi lebih pada ketersediaan pupuk itu sendiri. Meskipun harga pupuk mahal kalau tersedia setiap saat dibutuhkan itu tidak menjadi persoalan bagi petani.

Menyebabkan “Gizi Buruk” Pada Tanaman
Kebijakan subsidi juga tidak menguntungan bagi tanaman sasaran pupuk bersubsidi. Alokasi pupuk bersubsidi itu dihitung berdasarkan estimasi luas areal tanaman sasaran subsidi dalam satu tahun dikali jumlah pupuk berdasar rekomendasi Pemupukan Dinas Pertanian. Padahal “lahan pertanian antara satu tempat dengan tempat lainnya itu tingkat kesuburan dan kebutuhan pupuknya tidak sama”.

Kebanyakan petani tidak melakukan pemupukan berdasarkan Dosis Pemupukan yang direkomendasikan Dinas Pertanian. Dalam prakteknya Dosis Pemupukan yang dilakukan petani jauh lebih tinggi. Dosis rekomendasi pemupukan dari Dinas Pertanian untuk akumulasi semua jenis pupuk pada kisaran 0,6 sampai 0,7 Ton per hektar sedangkan kenyataannya kebutuhan tanaman untuk dapat berproduksi maksimal butuh pupuk pada kisaran 0,9 sampai 1,2 Ton per hektar.

Petani belajar dari pengalaman dan tiap hari serta terus menerus mengamati tanaman yang dibudidayakannya. Petani kita sudah menjadi peneliti dengan ilmu “niteni” bertahun-tahun dan paham betul kondisi lahan dan apa yang dibutuhkan tanamannya. Jika petani menuruti Dosis Pemupukan sesuai rekomendasi Dinas Pertanian maka yang terjadi adalah tanaman mengalami “Gizi Buruk” sehingga tidak dapat tumbuh optimal dan tidak berproduksi maksimal. Jika tidak berproduksi maksimal maka petanipun semakin rugi dan swasembada pangan tidak akan pernah tercapai.

Apa solusinya ?
Sebelum tahun 1980-an petani hampir tidak kenal pupuk anorganik (pupuk kimia buatan pabrik), setelah itu ada gerakan revolusi hijau, program bimas-inmas, intensifikasi dan ekstensifikasi. Pada saat itulah pupuk anorganik disosialisasikan secara tersetruktur dan masif. Sekitar tahun 1990-an program tersebut berhasil dan petani mulai maindet (simdrom) atau sangat tergantung pada pupuk anorganik. Swasembada pangan tercapai dan Presiden Soeharto mendapat penghargaan serta apresiasi dari Dunia Internasional. Setelah krisis ekonomi dan moneter tahun 1998, Indonesia tidak mencapai swasembada pangan dan harus impor beras. Tahun 2000-an kebijakan subsidi pupuk dimulai dan berlanjut hingga sekarang. Selama 15 tahun subsidi pupuk diberikan, selalu menimbulkan komplikasi persoalan yang sama yaitu kelangkaan dan harga tidak sesuai HET.

Ada beberapa alternatif solusi yang dapat diambil pemerintah, yaitu :

Pertama, subsidi pupuk dicabut dan peredaran pupuk bebas dipasaran, tetapi kebijakan ini sangat ekstrim karena pasti menimbulkan pro-kontra. Meskipun pada dasarnya petani tidak mempersoalkan mahalnya harga, tetapi lebih menginginkan pupuk tersedia setiap saat dipasaran karena petani telah maindet (sindrom) pupuk.

Kedua, jika memang subsidi pupuk masih diberikan melalui produsen (pabrik) maka produsen pupuk harus membuat Depo Penjualan Pupuk Bersubsidi seperti Depo penjualan BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi yang dilakukan Pertamina dan untuk mendapatkan HET petani beli sendiri ke Depo tersebut. Dengan demikian pupuk bersubsidi mudah diawasi dan penyelewengan mudah ditemukan. Tetapi pilihan ini sulit karena suprastrukturnya ada tapi infrastrukturnya belum ada.

Ketiga, subsidi pupuk melalui APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) pendistribusian pupuk bersubsidi mengadopsi pola distribusi Raskin (Beras untuk orang miskin) yaitu pupuk bersubsidi dari gudang penyanggah langsung di drop ke Kantor Desa. Petani membayar berdasar HET dan subsidinya dibayar oleh Pemerintah Desa. Sedangkan Distributor dan kios bebas menjual pupuk non subsidi.

Keempat, subsidi langsung ke petani dengan Kartu Ketahanan Pangan. Pemerintah membuat Kartu Ketahanan Pangan dibagi ke semua petani yang membudidayakan tanaman pangan. Pemegang kartu tersebut berhak mendapatkan uang tunai dari pemerintah untuk pembelian pupuk, mekanismenya dapat seperti BLT (bantuan langsung tunai). Sedangkan pupuk yang beredar dipasaran bebas menjual pupuk non subsidi dan petani bebas membeli pupuk dikios-kios pupuk yang ada disekitarnya.
Penulis,Nur Wahyudi
Sarjana Pertanian Universitas Jember Tahun 2002;
Sekretaris Pemuda HKTI Propinsi Jawa Timur Periode 2002-2006;
Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) HKTI Kabupaten Ngawi Periode 2011-2016.



Berita Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Terima-kasih atas partisipasi anda